Eksodus
Beberapa hari lalu dunia sepakbola dikejutkan dengan berita mundurnya Jurgen Klopp dari kursi manajerial Liverpool. Meskipun sang pelatih mengatakan bahwa dia baru akan angkat kaki pada akhir musim ini, namun kabar kepergiannya jelas masih sulit dipahami oleh banyak orang. Apalagi kini the Reds pun masih ada dalam tren positif. Klopp sedang membawa timnya memuncaki klasemen Premier League dengan hanya menelan satu kekalahan sejak September lalu.
Perginya Klopp pun seperti membuka pintu eksodus bagi para stafnya. Nama-nama loyal yang ada dalam ‘gerbong’ kepelatihan Klopp semacam Pepijn Lijnders dan Pieter Krawitz pun dikabarkan akan turut pergi dari kantor kepelatihan AXA Training Centre bersamaan dengan sang juru taktik. Bahkan, direktur olahraga Liverpool, Jorg Schmadtke, pun telah menentukan bursa transfer Januari ini sebagai babak akhir kerjasamanya bersama klub asal Merseyside.
Mari kita bergerak sekitar 11 ribu kilometer ke arah tenggara, tepatnya ke kota Jakarta. Di tempat ini, pemimpin berinisial J lain juga menghadapi gelombang eksodus dari para bawahannya. Pemimpin tersebut bernama Joko Widodo, pria asal Surakarta yang saat ini menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.
Mirip seperti Jurgen, Pak Jokowi pun akan meninggalkan kursi kepemimpinannya dalam beberapa bulan ke depan. Namun, berbeda dengan sang pelatih Jerman, saat ini kepergian Jokowi nampaknya akan didahului oleh keluarnya beberapa menteri yang bekerja di bawah beliau.
Bukan hanya dua atau tiga orang, tapi dikabarkan bakal ada 15 (lima belas!) orang menteri yang siap mundur sebelum masa jabatan mereka berakhir. Hal ini tentu mengagetkan publik, sebab isu tersebut muncul di tengah hangatnya dinamika Pemilu. Bahkan, salah satu menteri yang dirumorkan akan keluar merupakan satu bagian dari tiga pasang kandidat calon Presiden-Wakil Presiden yang akan dipilih rakyat pada 14 Februari mendatang. Hmm, apa yang sebenarnya terjadi?
Sesungguhnya, saya tidak tahu pasti alasan di balik eksodus yang mereka lakukan. Mungkin di antara orang-orang tadi ada yang sudah lelah dengan tekanan di level tertinggi. Atau bisa jadi pula mereka berpikir untuk mundur karena sudah tidak puas dengan standar atau nilai yang dianut di sekitar mereka. Ya, apapun itu, wallahualam.
Dua kisah di atas membuat saya jadi memikirkan kembali tentang pekerjaan. Apakah saya akan memperpanjang masa bakti di tempat saya bekerja sekarang? Atau mungkin sudah saatnya saya harus bersiap untuk memesan sekotak donat sebagai tanda perpisahan? Saya belum tahu.
Semoga, sama seperti Tuhan menuntun Musa memimpin bangsa pilihan-Nya melakukan eksodus dari tanah Mesir, Dia pun akan memimpin saya dalam segala hal yang saya lakukan. Entah itu tetap bekerja di ladang yang sama atau pergi ke tanah lain yang saya tidak ketahui wujud rupanya. Saya harap Dia selalu berkenan menuntun saya. Ya, semoga saja.