Gereja Ramah Difabel

Hari 3 dari #JurnalJanuari

Petrick
3 min readJan 3, 2024
GPIB Immanuel Jakarta (rri.co.id).

Suatu malam saya sedang bekerja sembari menikmati kopi di bilangan Jakarta Selatan. Di saat asyik bekerja, tiba-tiba perhatian saya tertuju pada seorang pasangan yang baru tiba dan duduk agak jauh dari saya. Dari pakaiannya, terlihat sepertinya mereka pernah menjadi relawan suatu acara olahraga besar di kota ini. Tidak ada yang aneh. Mereka terlihat bahagia malam itu.

Lalu ada satu momen di mana sang perempuan datang ke kassa untuk memesan. Saat ingin membayar, ada hal unik terjadi. Beberapa kali saya mendengar si kasir berkata, “Mbak, mau bayar pakai apa? Kartu kredit X?”. Si perempuan terlihat sulit menjawab, namun sang kasir tetap mengulangi kalimatnya, bahkan sesekali dia seperti harus mengulang dengan nada yang agak keras.

Perempuan tersebut lalu menoleh ke arah pasangannya dan berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Saya lalu sadar bahwa mereka berdua nampaknya adalah penyandang disabilitas (entah tunarungu atau tunawicara saya kurang tahu pasti). Tadi saya bilang bahwa saya senang melihat mereka berdua bahagia, namun di saat yang sama saya juga merasa sedih karena mereka belum dapat diperlakukan sebagaimana mestinya oleh si kasir.

Mungkin bukan salah kasirnya juga karena bisa jadi dia belum pernah mendapat SOP untuk berkomunikasi dengan para sahabat difabel. Tapi saya tetap menyesali hal ini. Sebab, untuk kota sebesar Jakarta, seharusnya para penyandang disabilitas bisa dilayani dengan maksimal di manapun mereka berada.

September lalu, salah satu gereja anggota PGI membuat deklarasi tentang Gereja Ramah Anak (bersama dengan Literasi Digital). Pada intinya deklarasi ini bertujuan untuk membuat gereja sebagai tempat yang melindungi sekaligus mendukung tumbuh kembang anak. Mungkin untuk lebih lengkapnya kalian bisa menonton video ini, yang saya belum lama sadar ternyata dibuat oleh seorang teman sekaligus (saat tulisan ini dibuat, masih jadi) calon pendeta di gereja saya.

Saya punya harapan agar ke depannya jemaat saya tidak hanya punya program ramah anak, namun juga bisa mendeklarasikan diri sebagai ‘Gereja Ramah Difabel’. Jujur saja, selama belasan tahun beribadah di gereja tersebut, saya tidak ingat ada jemaat penyandang disabilitas yang duduk di barisan depan gereja. Bahkan saya tidak ingat ada dari mereka yang aktif dalam kegiatan pelayanan.

Apa yang bisa kita lakukan? Ada beberapa hal yang terlintas di benak saya. Pertama, gereja bisa membuka diri bagi jemaat penyandang disabilitas dengan mengundang mereka untuk hadir dan terlibat dalam pelayanan. Kedua, gereja bisa melakukan berbagai hal praktis seperti menyediakan penerjemah bahasa isyarat (untuk khotbah), mempersiapkan tayangan layar yang ramah bagi penyandang buta warna, serta mempermudah akses pengguna kursi roda dengan jalur yang nyaman. Hal terakhir yang kita dapat lakukan adalah memperkuat pengembangan ekonomi gereja dengan memberdayakan potensi para sahabat difabel.

Entah berapa kali Alkitab menuliskan kisah tentang Yesus Kristus yang menyembuhkan para penyandang disabilitas. Mulai dari lumpuh, bisu, timpang, buta, dan lainnya. Kalau Yesus semasa hidup-Nya di dunia telah memberikan contoh untuk melayani mereka dengan begitu ramah dan luar biasa, mengapa gereja belum melakukan hal tersebut? Ingat, rumah-Nya harus bisa menjadi tempat yang inklusif bagi semua orang, di mana siapapun berhak datang untuk dilayani dan melayani, termasuk sahabat-sahabat difabel.

--

--

Petrick
Petrick

Written by Petrick

Meine Kraft Liegt in Jesus. Football writer.

Responses (1)