Selamat datang di #AdventCalendar! Selama 24 hari ke depan gua akan nulis tentang berbagai hal yang terlewat di pikiran. Bisa tentang sepakbola, bisa tentang kekristenan, bisa juga tentang hobi atau apapun. Pokoknya hal-hal yang terlintas di pikiran gua, lah. Awalnya ini terinspirasi dari @ReneMaric yang tiap tahun bikin program menulis selama #AdventCalendar. Maric awalnya adalah mahasiswa psikologi, lalu jadi pendiri Spielverlagerung, dan sekarang di umurnya yang baru 29 tahun dia udah jadi asistennya Marco Rose di Borussia Dortmund.
Selain karena ikut-ikutan, menurut gua pribadi hal ini adalah sesuatu yang baik. Gua udah lama nggak nulis (panjang), dan karena itu intensitas serta kualitasnya pun jelas menurun. Oleh karena itu, gua ingin mengembalikan kebiasaan menulis sekaligus meningkatkan kualitas tulisan supaya semakin baik. Selamat menikmati!
Mulai dari sepakbola
Apa lagi hal yang tepat untuk memulai selain sepakbola, bukan? Tapi sebelum itu, gua tiba-tiba teringat tentang satu kutipan dari Pramoedya Ananta Toer:
“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”. (Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, 1975.)
Salah satu langkah pertama untuk berbuat adil sejak dalam pikiran adalah untuk berpikir dengan jernih, tanpa berpihak pada siapapun. Langkah lain yang bisa diambil adalah belajar untuk melihat secara luas dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Kedua langkah ini nampaknya yang masih sulit dilakukan oleh para penonton sepakbola; bahkan para pundit sekalipun.
Beberapa hari lalu tersebar video yang seru (dan lucu) di mana Roy Keane dan Jamie Carragher terlibat dalam perdebatan mengenai Cristiano Ronaldo yang dibangkucadangkan melawan Chelsea. Obrolan keduanya lalu menuai berbagai respon di media sosial. Gary Neville tertawa puas, kurang lebih sama dengan respon Jimmy Floyd Hasselbaink yang ada di antara Keano & Carra malam itu. Selain itu ada juga Piers Morgan yang tampaknya lebih setuju dengan pendapat Keane dibanding sang legenda Liverpool.
Tapi respon paling menarik menurut gua datang dari Rio Ferdinand. Ferdinand bilang kalau seharusnya Carragher jangan ngomong bawa-bawa “juara liga” sebab eks-bek Liverpool itu nggak pernah juara Premier League. Hmm, menurut gua respon Ferdinand agak absurd. Kenapa?
Rio dan Ralf
Sebelum lanjut, kita perlu memperkenalkan satu nama yaitu Ralf Rangnick. Beliau baru aja ditunjuk untuk menjadi pelatih interim Manchester United — klub yang musim lalu jadi runner-up dan menargetkan juara liga di akhir 2021/2022 — sampai akhir Juni tahun depan.
Menariknya, Rangnick nggak pernah juara liga sama sekali! Beliau lebih dikenal sebagai otak di balik pesatnya pertumbuhan Red Bull Group yang dia pegang selama sembilan tahun. Prestasi terbaiknya sebagai pelatih di level elite cuma jadi runner-up Bundesliga bersama Schalke 04 di tahun 2005. Hal ini membuatnya dipandang sebelah mata oleh banyak fans United.
Kembali ke Ferdinand. Pendapat Rio yang bilang kalau Carragher nggak layak bicara tentang “juara liga” karena Carra nggak pernah juara Prem adalah hal yang nggak logis. Mirip-mirip dengan pendapat netizen yang “meremehkan” Ragnick hanya karena dia nggak pernah juara liga. Apakah seseorang harus mencapai prestasi tertentu dulu sebelum bisa berpendapat? Lebih jauh lagi, meminjam ungkapan dari Arrigo Sacchi, apakah seseorang harus jadi kuda untuk bisa jadi joki?
Rasanya nggak. Terlepas dari apapun latar belakang yang seseorang punya, dia berhak melakukan apapun, termasuk berpendapat tentang berbagai hal. Selama pendapatnya valid dan masuk akal, ya kenapa tidak?
Masuk ke konteks pelatih sepakbola, siapapun harusnya bisa jadi manajer klub elite tanpa melihat berapa trofi yang udah dia raih. Sebagai penonton kita harusnya bisa lebih adil sejak dalam pikiran. Kalau cuma melihat latar belakang dan pencapaian masa lalu, mungkin dunia sepakbola nggak akan pernah diberkati dengan nama-nama seperti Arrigo Sacchi (dulunya tukang sepatu), Maurizio Sarri (mantan pegawai bank), dan bahkan Rene Maric (masih 29 tahun).
Dan mungkin aja, tanpa nama-nama tersebut, gua nggak akan pernah menulis tentang sepakbola.
I’m Petrick Sinuraya, a 24-year-old football writer based in Indonesia. Currently, I’m working for one of Indonesia’s biggest football media outlets.
For inquiries, please contact me at petricksinuraya@gmail.com.