Sahabat Pena
Waduh, jadul banget, bos! Kalau kalian tahu istilah itu, berarti saatnya saya mengucapkan selamat. Selamat karena … kalian sudah tua! Pasti di antara kalian sudah ada yang menikah atau bahkan punya anak. Atau minimal sedang membuat rencana menuju ke sana. Mungkin kalau itu juga belum, bisa jadi kalian sudah punya berbagai amunisi jika ada anggota keluarga yang bertanya terkait hal tersebut.
Saya pun merasa demikian ketika beberapa bulan lalu ada seorang teman yang menggunakan istilah di atas. Kawan dekat ini suatu malam menelepon saya dan (sambil tertawa) meminta saya menjadi sahabat pena buat dia. Jujur saya kaget. Kaget karena tahu bahwa istilah tersebut masih dipakai, serta terkejut karena saya yang ‘terpilih’ di antara teman-temannya yang lain.
Banyak alasan orang melakukan kegiatan ini. Yang paling umum adalah untuk saling mengenal serta belajar antara satu dengan yang lain. Saya ingat ada seorang kolega pernah mem-posting pengalamannya bertukar surat dengan temannya di belahan dunia seberang (tapi maaf, saya nggak punya dokumentasinya). Di sisi lain, bersahabat pena juga bisa membantu para pelakunya mengembangkan kemampuan menulis serta mengekspresikan diri.
Pada masa pandemi lalu, kegiatan tukar-menukar surat ini sempat kembali ngetren. Meningkatnya perasaan kesepian menjadi salah satu alasan. Larangan berpergian serta pembatasan berkumpul membuat orang-orang jadi sulit bertemu, sehingga kegiatan sahabat pena menjadi suatu alternatif yang dapat membantu.
Pertimbangan lain yang bisa dipilih seseorang untuk menjalin pertemanan melalui surat adalah kebutuhan untuk berekspresi. Atau sekadar bercerita tanpa perlu merasakan penghakiman seperti yang dapat terjadi di media sosial. Dan mungkin itu juga yang kawan saya rasakan. Saya paham hal ini, dan oleh karena itu saya menulis. Meskipun untuk diri sendiri, saya pun menulis karena ingin mencurahkan apa yang ada di kepala saya. Kalau tidak, mungkin saya bisa stres sendiri. Lebih-lebih, saya bisa gila kalau tidak menulis!
Pada akhirnya, teman tersebut mengurungkan niatnya karena satu dan lain hal. Namun saya tidak kecewa karena dia akhirnya menemukan cara lain untuk bercerita. Mungkin juga, pada suatu malam di masa mendatang si kawan ini menelepon saya lagi untuk berkeluh-kesah. Atau kembali meminta saya menjadi sahabat pena. Agak unik sih, tapi ya sudahlah.
Empat kali empat sama dengan enam belas.
Ditambah delapan jadi dua puluh dua.
Sempat tak sempat harus dibalas.
Tipis-tipis pun tak apa, abangda.