‘Sekolah’ Minggu
Kalau kalian yang membaca ini adalah orang Kristen, hampir pasti kalian pernah mendengar istilah di atas. Ketika bersekolah minggu, anak-anak berkumpul untuk melakukan ibadah, memuji Tuhan, belajar Alkitab, dan melakukan berbagai aktivitas bersama teman-teman seumurnya. Mungkin gereja kalian masing-masing punya terminologi yang berbeda, seperti Pelayanan Anak/Remaja, Kids/Children/Youth Service, atau lainnya. Namun kita bisa menyepakati bahwa istilah di atas dapat kita artikan sebagai kegiatan pelayanan gereja yang diberikan kepada anak-anak pada hari Minggu.
Secara historis, ada beberapa versi terkait munculnya istilah ‘Sunday School’ atau ‘Sekolah Minggu’. Salah satu versi yang paling umum adalah kegiatan ini diprakarsai oleh seorang Inggris bernama Robert Raikes pada abad ke-18. Kala itu, Raikes prihatin dengan kondisi anak-anak yang terlantar di sekitar gerejanya. Oleh karena itu, beliau mengumpulkan sejumlah orang untuk melayani anak-anak tersebut dengan mengajari mereka membaca, menulis, serta mempelajari Alkitab.
Secara etimologis, istilah ‘sekolah’ pun mempunyai beberapa versi. Ada yang menariknya ke kata ‘schole’, yang dalam Bahasa Belanda diartikan sebagai ‘banyak’ atau ‘kumpulan’. Istilah ini kemudian diadopsi ke dalam Bahasa Inggris. Salah satu penggunaannya adalah dalam frasa ‘school of fish’ atau yang dapat diartikan sebagai sekumpulan ikan.
Versi kedua tentang asal istilah ‘sekolah’ dapat ditarik dari kata ‘σχολή’ (scholē) dalam Bahasa Yunani. Uniknya, kata tersebut pada mulanya diartikan sebagai ‘santai’. Kegiatan yang mungkin terbalik dengan definisi modern tentang sekolah! Tapi tunggu dulu. Tidak semua hal seaneh yang dibayangkan. Jika kita menengok pada sejarah, maka kegiatan yang umum dilakukan oleh orang Yunani kuno di luar waktu bekerja (=saat bersantai) mereka adalah berpikir, belajar, berdiskusi, dan mengembangkan kualitas diri. Nah, sekarang baru ketemu sambungannya.
Entah kenapa belakangan ini saya merasa gereja (setidaknya di Indonesia, atau mungkin separah-parahnya jemaat lokal tempat saya bernaung) seperti mengalami penurunan kualitas keimanan. Salah satu penyebabnya mungkin adalah jumlah jemaat yang hadir di gereja dalam Ibadah Minggu yang menunjukkan tren menurun. Dengan berkurangnya jumlah jemaat yang datang untuk mendengar Firman, maka tentu semakin sedikit jumlah orang yang kualitas imannya bertumbuh.
Sayangnya, gereja seperti mencari jalan pintas dan rela menurunkan standar demi bisa mengisi bangku kosong mereka. Rumah-Nya bukan lagi menjadi rumah doa bagi orang-orang, namun sudah menjadi tempat mabar gim online. Bahkan ada yang menjadikannya sebagai lokasi lomba joget TikTok! Gereja tempat saya bernaung pun pernah dengan bangganya mengadakan seminar daring terkait pentingnya personal branding; seakan-akan citra manusia yang diciptakan segambar dengan Allah seperti dirasa kurang. Benar-benar menyedihkan.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan?
Saran saya, gereja harus kembali ke sifat asalnya dengan menjadi ‘Sekolah’ Minggu. Istilah ‘sekolah’ mesti diperluas, sehingga tidak cuma tersedia bagi anak-anak tapi bagi semua jemaat. Definisi ‘gereja menjadi sekolah’ tidak hanya mencakup sekolah (schole) sebagai suatu perkumpulan (orang percaya), namun sekolah (σχολή; scholē) sebagai tempat para pengikut Kristus untuk mengisi waktu dengan saling berpikir, berdiskusi, dan belajar tentang Firman-Nya. Bahkan mungkin pun dapat diperluas lagi sehingga gereja tidak hanya eksis di hari Minggu saja. Gereja harus bisa menjadi sekolah bagi jemaat-Nya pada setiap hari yang ada.
Saya pikir Alkitab pun telah menunjukkan contoh yang sempurna tentang ini dalam Lukas pasal 2. Sebuah kitab Injil yang dipercaya ditulis oleh seorang murid-Nya yang punya kepedulian dengan dunia pendidikan. Berikut isi ayat 46 hingga 49 dalam kitab tersebut:
“Sesudah tiga hari mereka menemukan Dia dalam Bait Allah; Ia sedang duduk di tengah-tengah alim ulama, sambil mendengarkan mereka dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka. Dan semua orang yang mendengar Dia sangat heran akan kecerdasan-Nya dan segala jawab yang diberikan-Nya. Dan ketika orang tua-Nya melihat Dia, tercenganglah mereka, lalu kata ibu-Nya kepada-Nya: ”Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau.” Jawab-Nya kepada mereka: ”Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?””
Dari kisah di atas kita bisa belajar beberapa hal. Pertama, Yesus — dengan segala hikmat yang telah dimiliki-Nya — menunjukkan keinginan untuk datang ke Bait Allah dan mendengar serta bersoal-jawab dengan para pemuka agama. Kedua, Dia— yang saat itu masih berusia 12 tahun — memperlihatkan bahwa kebutuhan mempelajari Firman dan mengetahui Kebenaran memang harus dimiliki sejak muda. Dan ketiga, kisah di atas juga membuktikan bahwa Rumah-Nya, selain dibuat sebagai tempat beribadah, juga dapat menjadi suatu wadah bagi orang untuk berkumpul dan saling belajar demi memperdalam pengenalan akan Tuhan, bukan tempat untuk bermain-main, berjoget nggak jelas, atau melakukan kegiatan tidak penting lainnya!
Saya bukan orang pertama yang menulis tentang hal semacam ini, dan sepertinya bukan jadi yang terakhir. Jika gereja masih hanya berusaha untuk relevan dengan perkembangan zaman namun di sisi lain mengorbankan kualitas iman jemaat cuma karena malas berpikir, mungkin datang kehancurannya cuma tinggal menunggu waktu. Semoga kita segera sadar dan mau mulai belajar sehingga hal tersebut tidak akan pernah terjadi.
Selamat hari Minggu.