Tidak Bisa Berpikir

Hari 26 dari #JurnalJanuari

Petrick
3 min readJan 26, 2024
Lukisan ‘The Creation of Adam’ karya Michelangelo, abad 16 (thecollector).

Bayangkan kalian sedang berada pada satu situasi di mana kalian harus memberikan suatu instruksi kepada orang lain. Kalian mencoba untuk menjelaskan hal tersebut dengan bahasa yang mudah dimengerti. Setelahnya, kalian mengajukan sebuah pertanyaan sederhana, “Apakah kamu sudah paham?” Si penerima pesan pun dengan mantap menjawab “Ya.” Masalah sepertinya sudah selesai.

Beberapa saat kemudian, tibalah momen di mana si penerima pesan harus melakukan instruksi yang diterimanya. Tentu dengan jawaban yang penuh kepercayaan diri tadi, kalian berharap bahwa dia bisa melaksanakan perintah dengan tepat. Namun yang terjadi adalah kebalikannya! Orang tersebut malah nampak kebingungan dan gagal melaksanakan tugas yang diberikan.

Apakah kalian pernah menghadapi orang seperti si penerima pesan dalam situasi ini? Kalau iya, selamat. Kemungkinan besar kalian telah bertemu dengan seorang Indonesia pada umumnya. Jenis orang yang hanya tau manggut-manggut doang tapi sebenarnya nggak paham apa yang dibicarakan.

Saya tidak tahu pasti alasan kenapa kebanyakan orang Indonesia sering melakukan hal seperti tadi. Ya, hanya menurut saja dan seperti tidak ada keberanian untuk bertanya kalau masih bingung. Mungkin penyebabnya bisa macam-macam. Entah itu karena ada perasaan segan dengan pemberi pesan, atau merasa takut salah, atau lainnya.

Barangkali hal ini ada sangkut pautnya dengan alasan religius. Sebagai salah satu negara yang amat menganggap penting agama, tentu kebanyakan orang Indonesia dibiasakan untuk taat, taat, dan taat. Bertanya dalam lingkup keagamaan kadang dianggap sebagai sesuatu yang kurang patut dilakukan. Pasalnya, hal ini dapat saja dilihat sebagai bentuk keraguan terhadap subjek yang dipercaya.

Di sisi lain, bisa jadi pula ini merupakan buah dari sistem pendidikan yang menuntut kemampuan menghafal. Alih-alih memahami konsep, para peserta didik dipaksa untuk dapat menghafal. Pun tidak jarang dari mereka yang cuma bisa mengingat kata-kata, namun tidak mampu untuk mempraktikannya. Sungguh menyedihkan.

Bangsa kita adalah bangsa yang sulit berpikir kritis. Kebanyakan orang Indonesia masih susah dalam memahami dan menguraikan masalah yang mereka hadapi. Dengan begini, mereka menjadi sulit untuk membuat analisis dan merancang solusi untuk menyelesaikan problema yang ada.

Lalu solusinya apa?

YNTKTS. Ya sebenarnya jangan tanya saya, lah! Tanya para pembuat kebijakan sana. Mungkin tanya mas Menteri sekalian.

Tapi mungkin ada beberapa hal yang bisa kita lakukan. Kita bisa membuat situasi di mana para penerima pesan jadi harus berpikir, misal dengan mengajukan pertanyaan terbuka seperti “bagaimana kalau kalian melakukan X?” atau “kira-kira kenapa kita tidak melakukan Y?” dan kemudian meminta mereka untuk menjelaskan alasan di balik argumennya. Di sisi lain, kita mungkin bisa juga memberikan insentif bagi orang muda untuk berani mempertanyakan hal-hal yang cenderung sensitif atau dianggap tabu, misalnya perihal seks, budaya, atau spiritualitas. Lebih lagi jika pertanyaan tersebut diajukan kepada orang yang punya kedudukan sosial lebih tinggi seperti guru, orangtua, atau bahkan pemuka agama.

Mungkin dengan begini ke depannya kita setidaknya makin bisa membentuk orang-orang yang berani bertanya. Sebab keberanian untuk bertanya adalah salah satu pintu untuk masuk pada kemampuan berpikir kritis. Kalau bertanya pun tidak berani, orang-orang kita ya masih cuma bisa manggut-manggut doang tapi tetap nggak mengerti apa-apa.

--

--