Pinggir Jalan

Apa yang seharusnya berada di pinggir jalan?

Petrick
3 min readJun 2, 2024
Suasana deretan warung di depan Gudang Sarinah (x.com/EfekRumahBuku).

Jumat malam. Saya berada di sebuah toko buku di daerah Pancoran, Jakarta Selatan. Nama toko ini adalah Bebasari; diambil dari judul naskah drama Roestam Effendi yang pertama diterbitkan hampir seratus tahun lalu. Sebenarnya tempat ini bukan hanya sebuah toko, sebab di sini siapapun boleh datang untuk sekadar membaca buku.

Saya datang ke tempat ini untuk mengikuti sebuah diskusi tentang sepakbola. Ah, olahraga sederhana di mana 22 orang berlari mengejar bola, dan tahun ini Bandung yang menjadi juaranya. Kemenangan Kota Kembang pun terasa pada malam itu karena yang menjadi pembicara utama berasal dari daerah tersebut.

Diskusinya menyenangkan, meskipun saya heran kenapa hanya saya yang mengacungkan tangan untuk bertanya. Padahal, ada lebih dari seratus nama tercantum dalam daftar peserta. Topik yang dibicarakan pun seru. Ada cerita yang dibagi, keluh kesah yang diungkap, hingga impian yang bersama-sama diharapkan. Tapi bukan itu semua yang memancing saya untuk kembali membuat tulisan setelah karya terakhir pada empat bulan silam.

Bebasari: Taman Buku Rakyat Banyak (x.com/EfekRumahBuku).

Diskusi dibuka dan ditutup oleh pesan dari Kang Zen RS. Saya lupa tepatnya di bagian mana, namun ucapan beliau tentang alasan berdirinya Bebasari di tempat tersebut masih terngiang di pikiran saya. Kalau tidak salah dia bilang begini, (maaf ya kang kalau kurang akurat)

“Kenapa toko buku ini ada di sini? Karena seharusnya memang toko buku ada di sebelah warmindo, bengkel motor, dan warung sembako. Kalau toko buku ada di gedung tinggi ber-AC dan di sampingnya ada kedai kopi mahal, maka buku akan menjadi berjarak. Di toko buku ini juga isinya bermacam-macam. Ada buku ternak lele lah, ada buku tentang cara memperbaiki karburator lah. Ya tujuannya supaya semua orang mau datang ke sini.”

Sial.

Entah kenapa saya kemudian jadi berpikir tentang gereja. Kenapa kita makin sulit menemukan Rumah Tuhan di pinggir-pinggir jalan, ya? Secara teknis bangunan pada umumnya memang bukan berada di badan jalan, namun maksud saya bukan itu. Yang saya ingin bilang adalah, kenapa sekarang banyak gereja menjadi semakin berjarak dengan ciptaan-Nya?

Alih-alih membuat tempat bersekutu yang membumi, namun kini Bait-Nya malah banyak ditemukan di dalam pencakar langit nan tinggi! Ingin hati masuk, tapi langkah terhenti ketika melihat tarif parkir yang sulit dijangkau. Pun itu dilewati, namun kini pikiran melayang karena minder melihat orang menenteng barang mewah di kiri-kanan. Kalaupun perasaan itu juga berhasil dilawan, yang sekarang dihadapi adalah jemaat pribumi yang malah cas-cis-cus berbahasa asing.

Ah, sudahlah, keluar saja. Beribadah ternyata perlu banyak modal. Saya tidak pantas berada di sini.

Minggu siang. Saya sekarang berada di rumah setelah pergi beribadah ke gereja. Sampai detik ini saya masih yakin bahwa Tuhan memang bertujuan untuk menghimpun semua orang untuk berkumpul bersama di hadapan-Nya. Bagi Tuhan, sepertinya urusan pendek-tinggi, bodoh-pintar, apalagi kaya-miskin tidaklah penting. Entah kenapa kita sendiri yang sekarang seperti membuat jarak antara Dia dan umat-Nya dengan menempatkan gereja di dalam pusat perbelanjaan elite atau gedung perkantoran yang megah.

Oleh karena itu, sudah sepatutnya gereja kembali berada di pinggir-pinggir jalan. Rumah-Nya harus selalu sedia untuk melayani para pelanggan warung Madura, pengemudi ojek, spesialis calo tiket, hingga tukang galon isi ulang. Dengan begitu, gereja dapat kembali menjadi tempat yang ramah bagi rakyat banyak.

Selamat hari Minggu.

--

--

Petrick
Petrick

Written by Petrick

Meine Kraft Liegt in Jesus. Football writer.

No responses yet